Sabtu, 11 September 2010

MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR “ KEBEBASAN DAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA DI INDONESIA " pembahasan

BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
3.1  Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia
Kerukunan merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di Tengah perbedaan. Perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan. Kesadaran akan kerukunan hidup umat beragama yang harus bersifat Dinamis, Humanis dan Demokratis, agar dapat ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah sehingga, kerukunan tersebut tidak hanya dapat dirasakan/dinikmati oleh kalangan-kalangan atas/orang kaya saja.
 Karena, Agama tidak bisa dengan dirinya sendiri dan dianggap dapat memecahkan semua masalah. Agama hanya salah satu faktor dari kehidupan manusia. Mungkin faktor yang paling penting dan mendasar karena memberikan sebuah arti dan tujuan hidup. Tetapi sekarang kita mengetahui bahwa untuk mengerti lebih dalam tentang agama perlu segi-segi lainnya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga filsafat. Yang paling mungkin adalah mendapatkan pengertian yang mendasar dari agama-agama. Jadi, keterbukaan satu agama terhadap agama lain sangat penting. Kalau kita masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha memberikan sesuatu pandangan yang optimis. Namun ketika kontak-kontak antaragama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka muncul paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif atas kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling pengertian. Di masa lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain dan menganggap agama selain agama kita sebagai lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama lain, maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai satu sama lain.

3.2  Berbagai Perspektif Pluralisme Agama
Berbicara tentang hubungan antar agama, wacana pluralisme agama menjadi perbincangan utama. Pluralisme agama sendiri  dimaknai secara berbeda-beda di kalangan cendekiawan Muslim Indonesia, baik secara sosiologis, teologis maupun etis.
Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Rasjidi bahwa agama adalah masalah yang tidak dapat ditawar-tawar, apalagi berganti. Ia mengibaratkan agama bukan sebagai (seperti) rumah atau pakaian yang kalau perlu dapat diganti. Jika seseorang memeluk keyakinan, maka keyakinan itu tidak dapat pisah darinya.  Berdasarkan keyakinan inilah, menurut Rasjidi, umat beragama sulit berbicara objektif dalam soal keagamaan, karena manusia dalam keadaan involved (terlibat). Sebagai seorang muslim misalnya, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia  involved (terlibat) dengan Islam. Namun, Rasjidi mengakui bahwa dalam kenyataan sejarah masyarakat adalah multi-complex yang mengandung religious pluralism, bermacam-macam agama. Hal ini adalah realitas, karena itu mau tidak mau kita harus menyesuaikan diri, dengan mengakui adanya religious pluralism dalam masyarakat Indonesia.

Dapat dicermati bahwa Rasjidi tidak memandang adanya pertemuan  dalam masalah-masalah teologis. Pandangan pluralismenya tidak berarti adanya  pertemuan dalam hal keimanan, namun hanya merupakan pengakuan atas keberadaan agama-agama lain. Pandangan pluralismenya tidak sampai masuk pada perbincangan tentang kebenaran-kebenaran yang ada di dalam agama lain. Ia sama sekali tidak menyinggung tentang hal itu. Namun demikian, ia juga tidak memandang kesalahan-kesalahan ajaran teologis dari agama lain. Kritiknya terhadap agama lain adalah kritik sosial, dalam arti bahwa ia mengritik praktek-praktek misi atau zending dari agama Kristen. Ia mengritik aktivitas misi atau zending tersebut. Ia tidak mengritik berbagai ajaran teologis yang ada di dalam agama Kristen.

Karena itulah pola yang dipakai Rasjidi adalah pola responsif atas persoalan yang  berkembang, misalnya tentang kristenisasi, sehingga terkesan defensif. Apa yang dikemukakannya adalah sebuah pembelaan, sebuah dialog bertahan, bukan menyerang. Pembelaan Rasjidi atas berbagai persoalan yang menimpa umat Islam disampaikan secara terus-terang dan terbuka, bahkan kadang kalah  tidak dapat menghindari munculnya tuduhan, tudingan dalam  dalam hal-hal yang empirik (aktual). Ia tidak pernah menutupi sesuatu pun, meskipun hal itu terasa pahit dan keras, misalnya tentang apa yang dilakukan oleh umat Kristen.

Terdapat kesan bahwa pandangan tentang absolutisme agama didasarkan oleh kandungan ajaran bahwa pemeluk agama tidak dapat objektif terhadap kebenaran lain. Bagi umat Islam barangkali didasarkan pada ajaran bahwa “agama yang paling benar di sisi Allah adalah Islam”.
Pengakuan pluralisme secara sosiologis ini juga dikemukakan oleh Mukti Ali. Mukti Ali secara sosial tidak mempersoalkan adanya pluralisme, dalam pengakuan-pengakutan sosial, tetapi ia sangat tegas dalam hal-hal teologis. Ia menegaskan bahwa  keyakinan terhadap hal-hal teologis tidak bisa dipakai hukum kompromistis. Oleh karena itu, dalam satu persoalan (objek) yang sama, masing-masing pemeluk agama memiliki sudut pandang yang berbeda-beda, misalnya pandangan tentang al-Qur’an, Bibel, Nabi Muhammad, Yesus dan Mariam.
Menurutnya, orang Islam melakukan penghargaan yang tinggi terhadap Mariam dan Jesus. Hal itu merupakan bagian keimanan orang Islam. Orang Islam sungguh tidak dapat mempercayai (mengimani) ketuhanan Jesus Kristus tetapi mempercayai  kenabiannya sebagaimana Nabi Muhammad. Kemudian, orang Islam juga tidak  hanya memandang al-Qur’an tetapi  juga Torah dan Injil sebagai Kitab Suci (Kitabullah). Yang menjadi persoalan, apakah Kitab Bibel yang ada sekarang ini otentik atau tidak, dan apakah seluruhnya merupakan wahyu Tuhan. Hal ini bukan berarti bahwa orang Islam  selalu menolak Wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Musa, Isa atau rasul-rasul lain, meskipun orang Islam tidak bisa mengakui bahwa Bibel sebagaimana sebelum mereka hari ini terdiri dari Kalam Tuhan seluruhnya. Namun demikian, orang Islam percaya bahwa Bibel  memuat/mengandung  Kalam Tuhan.
Tampak Mukti Ali ingin menegaskan bahwa masing-masing agama memiliki keyakinan teologis yang tidak bisa dikompromikan. Islam memiliki keimanan sendiri, bahkan termasuk mengenai hal-hal yang diyakini oleh umat agama lain, misalnya konsep tentang Nabi Isa. Begitu juga, Kristen memiliki keimanan sendiri, bahkan termasuk mengenai hal-hal yang  diyakini oleh Islam, misalnya konsep tentang Nabi Muhammad.
Jadi, pengakuan tentang pluralismenya berada pada tataran sosial, yakni bahwa secara sosiologis kita memiliki keimanan dan keyakinan masing-masing. Persoalan kebenaran adalah persoalan dalam wilayah masing-masing agama.
Mukti Ali menjelaskan bahwa ada beberapa pemikiran diajukan orang untuk mencapai kerukunan dalam kehidupan beragama. Pertama, sinkretisme, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua, reconception, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain. Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari pelbagai agama, supaya dengan demikian tiap-tiap pemeluk  agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Keempat, penggantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang agama-agama lain adalah salah; dan berusaha supaya orang-orang yang lain agama masuk dalam agamanya. Kelima, agree in disagreement (setuju dalam perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang paling baik, dan mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik. Diyakini bahwa antara satu agama dan agama lainnya, selain terdapat perbedaan, juga terdapat persamaan.
Mukti Ali sendiri setuju dengan jalan  “agree in disagreement”. Ia mengakui jalan inilah yang penting ditempuh untuk menimbulkan kerukunan hidup  beragama. Orang yang beragama harus percaya bahwa agama yang ia peluk itulah agama yang paling baik dan paling benar, dan orang lain juga dipersilahkan, bahkan dihargai, untuk percaya dan yakin bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik dan paling benar.  

Wacana pluralisme agama Djohan Effendi berbeda dengan pluralisme Rasjidi dan Mukti Ali di atas. Pengakuan pluralisme Djohan Effendi bukan hanya pengakuan secara

sosiologis bahwa umat beragama berbeda, tetapi juga pengakuan tentang titik temu secara teologis di antara umat beragama.  Djohan tidak setuju dengan absolutisme agama. Ia membedakan antara agama itu sendiri dengan keberagamaan manusia. Pengertian antara agama dan keberagamaan harus dipahami secara proporsional. Menurutnya, agama –terutama yang bersumber pada wahyu, diyakini sebagai bersifat ilahiyah. Agama memiliki nilai mutlak. Namun, ketika agama itu dipahami oleh manusia, maka kebenaran agama itu tidak bisa sepenuhnya ditangkap dan dijangkau oleh manusia, karena manusia sendiri  bersifat nisbi. Oleh karena itu, kebenaran apapun yang dikemukakan oleh manusia –termasuk kebenaran agama yang dikatakan oleh manusia—bersifat nisbi, tidak absolut. Yang absolut adalah kebenaran agama itu sendiri, sementara kebenaran agama yang dikatakan oleh manusia itu nisbi. Kebenaran absolut itu hanya bisa diketahui oleh ilmu Tuhan.

Dengan bahasa lain, Greg Barton menyebut bahwa Djohan Effendi menolak absolutisme agama dan mengakui pluralisme agama. 

Djohan mengemukakan:
Sebagai makhluk yang bersifat nisbi, pengertian dan pengetahuan manusia tidak mungkin mampu menjangkau dan menangkap agama sebagai doktrin kebenaran secara tepat dan menyeluruh. Hal itu hanya ada dalam ilmu Tuhan. Dengan demikian apabila seorang penganut mengatakan perkataan agama, yang ada dalam pikirannya bukan hanya agama sendiri, akan tetapi juga aliran yang dianutnya, bahkan pengertian dan pemahamannya sendiri. Oleh karena itu, pengertian dan pemahamannya tentang agama jelas bukan agama itu sendiri dan karena itu tidak ada alasan untuk secara mutlak dan a priori menyalahkan pengertian dan pemahaman orang lain.”
   Pemikiran pluralisme Djohan Efendi  berangkat dari suatu pemahaman bahwa dakwah (baik Islam maupun Kristen) adalah sesuatu yang penting, tapi ia kurang setuju jika keberagamaan seperti itu bertolak dari pandangan keagamaan yang bersifat mutlak dan statis (menganggap bahwa kebenaran atau keselamatan menjadi klaim satu kelompok). Dari sinilah, menurut Djohan, dialog merupakan sesuatu yang esensial untuk merangsang keberagamaan kita agar tidak mandeg dan statis.  Sekali lagi, Djohan tidak menyetujui absolutisme agama, sehingga paksaan atau kekerasan apapun tidak boleh mendapat tempat di dalam usaha-usaha dakwah. Dalam hal ini, yang  dibutuhkan adalah sikap moderat dan liberal terhadap iman lain. Dari situlah, teologi kerukunan akan bisa terwujud. Djohan mengemukakan:
 “Dengan pendekatan dan pemahaman yang menyadari sepenuhnya akan keterbatasan dan ketidakmutlakan manusia, boleh jadi bisa dikembangkan semacam Teologi Kerukunan, yaitu suatu pandangan keagamaan yang tidak bersifat memonopoli kebenaran dan keselamatan, suatu pandangan keagamaan yang didasarkan atas kesadaran bahwa agama sebagai ajaran kebenaran tidak pernah tertangkap dan terungkap oleh  manusia secara penuh dan utuh, dan bahwa keagamaan seseorang pada umumnya, lebih merupakan produk, atau setidak-tidaknya pengaruh lingkungan.”
Djohan membuat garis pembatas yang tegas antara agama dan keberagamaan. Kedua hal ini tidak dapat dicampuraduk. Ia tidak setuju terhadap pandangan keagamaan seseorang –sebagai suatu keberagamaan-- yang dianggap bersifat absolut.  Absolutisme keberagamaan adalah tidak benar. Berbagai persoalan yang menimpa umat  beragama sering kali disebabkan adanya pandangan bahwa keberagamaan seseorang sebagai satu-satunya yang paling benar, sementara keberagamaan orang lain salah.  Inilah yang kemudian menumbuhsuburkan adanya misi, zending, dakwah dan semacamnya.
Menurutnya, Islam secara tegas memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia dalam masalah agama dan keberagamaan. Ia merujuk ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa “tak ada paksaan dalam agama.” Ia juga merujuk ayat yang menunjukkan  bahwa Tuhan mempersilahkan siapa saja yang  mau beriman atau kufur terhadap-Nya. Menurutnya, Islam sama sekali tidak menafikan agama-agama yang ada. Islam mengakui eksistensi agama-agama tersebut dan tidak menolak nilai-nilai ajarannya. Kebebasan beragama dan respek terhadap agama dan kepercayaan orang lain adalah ajaran agama, disamping itu memang merupakan sesuatu yang penting bagi masyarakat majemuk. Dengan demikian, membela kebebasan beragama bagi siapa saja dan menghormati agama dan kepercayaan orang lain dianggap sebagai bagian dari kemusliman.  Ia merujuk ayat al-Qur’an yang menyatakan keharusan membela kebebasan beragama yang disimbolkan dengan sikap mempertahankan rumah-rumah ibadah seperti biara, gereja, sinagog, dan masjid.
Hal yang sama juga dikemukan oleh Nurcholis Madjid. Ia mengemukakan ketidaksetujuannya dengan absolutisme, karena absolutisme adalah pangkal dari segala permusuhan. Ia mengatakan:
“Petunjuk konkret lain untuk memelihara ukhuwah adalah tidak dibenarkannya sama sekali suatu kelompok dari kalangan orang-orang beriman untuk memandang rendah atau kurang menghargai kelompok lainnya, sebab siapa tahu mereka yang dipandang rendah itu lebih baik daripada mereka yang memandang rendah. Ini mengajajarkan kita –dalam pergaulan dengan sesama manusia, khususnya sesama kalangan yang
percaya kepada Tuhan—tidak melakukan absolutisme, suatu pangkal dari segala permusuhan.”
Nurcholish menegaskan betapa pentingnya kehidupan beragama. Ia tidak menjelaskan secara tegas apakah yang dimaksud agama di sini adalah agama Islam saja. Artinya, agama yang dimaksud adalah agama secara umum. Namun, dengan bahasa yang dialektis, ia melakukan otokritik terhadap pemeluk agama. Ia mengakui bahwa dalam agama-agama, lebih tepatnya, dalam lingkungan para penganut agama-agama, selalu ada potensi kenegatifan dan perusakan yang amat berbahaya.
Nurcholish melihat bahwa peta tahun 1992 sedang ditandai oleh konflik-konflik dengan warna keagamaan. Diakui, agama memang bukan satu-satunya faktor,  tapi jelas sekali bahwa pertimbangan keagamaan dalam konflik-konflik itu dan dalam eskalasinya sangat banyak memainkan peran. Setiap warna keagamaan dalam suatu konflik seringkali melibatkan agama formal atau agama terorganisir (organized religion)


 3.3  Kendala-Kendala
3.3.1  Toleransi Beragama
Refleksi Hari Toleransi Internasional, 16 November Umat Beragama dan Toleransi Oleh: Sri Sugiyati Direktur Centre of Indonesian Future Studies (CIFuS), aktivis perempuan, alumnus California Free School for Humanity (Cafshu) AS Dalam rangka memperingati momen tersebut, Johra Holle menguraikan, sebaiknya kita merenungkan toleransi terkait dengan pluralitas agama di Indonesia. Masalah ini selalu menjadi perhatian banyak orang, terlebih di Indonesia ini. Karenanya, tidak mengherankan bila hingga kini beberapa pihak yang berwenang membina umat beragama di Indonesia menyorot permasalahan itu secara tajam. Perhatian terhadap kerukunan beragama itu bisa dipahami. Memang, selain merupakan kekayaan rohaniah yang bisa memperkukuh kehidupan nasional Indonesia, kemajemukan atau pluralitas agama, baik internal maupun eksternal, juga menyimpan potensi-potensi konflik. Sebagian potensi konflik itu bahkan telah meledak menjadi aktual di Indonesia dewasa ini.
Dampak potensi konflik jenis ini (konflik agama) bisa amat mendalam dan cenderung meluas. Bahkan implikasinya bisa sangat besar sehingga berisiko sosial, politik maupun ekonomi yang besar pula. Dan ia telah sedikit menampakkan wajah garangnya di daerah Maluku/Ambon dan Poso. Dengan demikian kita memang tak dapat menyangkal, kerukunan (toleransi) antarumat beragama di negeri ini merupakan faktor yang amat penting. Tanpa adanya kerukunan beragama, maka hubungan antaragama akan menjadi mudah terganggu. Gangguan itu bisa mengakibatkan terjadinya instabilitas kehidupan sosial-politik, yang tentunya tidak dikehendaki banyak lapisan masyarakat. Kasus (dan potensi) konflik antarumat beragama di Maluku saat itu orang tidak dapat membayangkan dan bahkan belum bisa dipastikan entah kapan akan berakhirnya, adalah contoh konkrit yang amat memprihatinkan. Konflik tersebut sudah memakan banyak korban jiwa dan harta benda. Hubungan antarumat beragama yang sebelumnya terjalin harmonis di sana, akhirnya berubah menjadi tegang dan saling mencurigai satu sama lainnya. Permusuhan antarumat beragama di Maluku itu, belakangan ini bahkan telah mulai tampak membawa efek psikologis negatif, yakni lahirnya perasaan dendam kesumat antarsesama anak bangsa di sana. Masalah sepele akhirnya kerap berubah menjadi besar yang mengkait dengan soal agama. Padahal, selama ini masyarakat Maluku dikenal sangat baik dalam memelihara kerukunan. Terganggunya toleransi antarumat beragama itu bisa pula kita cermati pada kerusuhan di Situbondo, Tasikmalaya, Sanggau Ledo, Tanah Abang, Poso dan lainnya, yang merembet pada masalah agama. Padahal, puluhan atau bahkan ratusan tahun sebelumnya, warga masyarakat dari berbagai agama di tempat-tempat konflik itu hidup rukun dan damai sebagai sesama anak bangsa. Terjadinya berbagai konflik antarumat beragama di atas bisa dianggap sebagai suatu peringatan kepada bangsa kita agar tidak boleh lagi bersikap lengah terhadap hal-hal negatif yang mungkin saja dapat memicu konflik serupa di masa depan. Kita pun seharusnya mengelola hal-hal positif sebagai cara mengantisipasi konflik yang lebih besar dalam bangsa ini di masa selanjutnya. Menyangkut hal positif, bila bercermin pada sejarah perjuangan bangsa Indonesia, kita harus menyadari bahwa sebenarnya persatuan dan kerukunan adalah kata kunci dari keberhasilan dalam meraih kemerdekaan. Demikian pula hendaknya dalam mengisi kemerdekaan, persatuan dan kerukunan (termasuk kerukunan antarumat beragama) dari segenap komponen bangsa semestinya menjadi modal penting bagi kita. Konsep persatuan dan kerukunan tersebut semestinya kita pegang teguh. Apalagi bila mengingat, dewasa ini taktik adu domba dan pecah-belah sering dilakukan pihak-pihak tertentu di tengah gencarnya ancaman disintegrasi nasional. Perbedaan agama, budaya, suku, bahasa dan adat dalam diri bangsa Indonesia sesungguhnya dapat menjadi potensi integrasi dan sekaligus potensi disintegrasi. Manakala perbedaan itu dikelola baik, dengan berlaku adil dan menganggap perbedaan sebagai kekayaan khazanah bangsa, maka ia dapat menjadi potensi integrasi. Sebaliknya, manakala perbedaan itu tidak dikelola secara adil, maka ia akan menjadi potensi disintegrasi bangsa. Terjadinya konflik-konflik antarumat beragama selama ini, bisa jadi disebabkan oleh faktor ketidakadilan itu. Di antaranya tampak jelas dalam hal kesenjangan ekonomi antarpenganut agama. Hal itu juga tampak dalam perlakuan politik berdasarkan agama yang dianut, terutama di masa rezim Orde Baru, di mana demi memperoleh dukungan politik, rezim itu memberikan posisi-posisi strategis kepada elit-elit dari agama tertentu. Perlakuan kurang adil itu bisa memancing kecemburuan dari satu kelompok terhadap kelompok lain. Apalagi antara umat beragama kurang intens mengadakan dialog agama, perlakuan tak adil demikian tambah membuka peluang terjadinya konflik antarumat beragama. Ini terjadi karena masalah agama adalah sangat sensitif bagi para pemeluknya. Sedikit saja ada gesekan, bisa membuat penganutnya terkena emosi. Dan karena alasan fanatisme, hal itu dapat membuat tindakan mereka sulit dikontrol. Dengan demikian, terjadinya konflik antarumat beragama lebih disebabkan oleh faktor ketidakadilan dalam bidang sosial, politik dan ekonomi. Bukan oleh faktor doktrinal. Agaknya, doktrin-doktrin setiap agama, termasuk Islam dan Kristen, sama sekali tak pernah mengajarkan pemeluknya untuk mengganggu dan merusak harta benda (apalagi membunuh) penganut agama lainnya. Dalam pemahaman demikian, perbedaan agama semestinya tak perlu menjadi konflik manakala masing-masing umat beragama memahami ajaran agama secara mendalam. Sebab selain perbedaan yang ada antaragama, sesungguhnya juga terdapat banyak persamaan. Apalagi ditambah adanya dialog yang intens untuk sama-sama memperjuangkan masalah kemanusiaan dan kemiskinan. Peluang konflik dengan sendirinya akan makin kecil jika masing-masing umat beragama mau melakukan kerja sama dalam masalah sosial-kemanusiaan. Karena itu, untuk mencapai kerukunan beragama yang harmonis, kiranya dialog antarumat beragama perlu diadakan secara intensif agar tercipta saling pengertian antarkomunitas agama. Saling pengertian itu akan memungkinkan antarkelompok saling menghormati. Keadaan itu pada gilirannya akan menumbuhkan dan mengembangkan sikap toleran serta memantapkan kerukunan antarumat beragama. Tapi perlu dicatat, dialog antaragama itu hanya bisa dimulai bila ada keterbukaan sebuah agama terhadap agama lainnya. Persoalannya mungkin baru muncul bila kemudian mulai dipersoalkan secara terperinci apa yang dimaksud keterbukaan itu, segi-segi mana dari suatu agama yang memungkinkan dirinya terbuka terhadap agama lain, pada tingkat mana keterbukaan itu dapat dilaksanakan. Lalu, dalam modus bagaimana keterbukaan itu bisa dilakukan. Untuk mencapai keterbukaan antaragama, maka idealnya perlu dibuat komitmen bahwa yang diharapkan terjadi dalam dialog antarumat agama bukanlah tindakan yang mempertandingkan persamaan dan perbedaan antara satu agama (sebagai satu sistem substansial yang menyangkut ajaran, doktrin dan kewajibannya) dengan agama lain. Yang perlu dicari adalah bagaimana agama menjadi jalan dan sebab seseorang atau sekelompok orang terbuka kepada kelompok lain. Dalam konteks itulah perlu dipahami, penyebaran agama adalah hal yang wajar terjadi. Agama Islam dan Kristen sebagai agama dakwah, misalnya, sangat mementingkan hal itu. Para pemeluknya menanggung kewajiban agama untuk mengemban tugas dakwah tersebut. Selain itu, penganutan suatu agama berarti penerimaan dan penghayatan suatu ajaran yang dianggap satu-satunya kebenaran yang menyangkut keselamatan di dunia dan terutama di akhirat. Karena itu, adalah sangat esensial bila orang yang beragama merasa terpanggil untuk menyelamatkan orang lain lewat ajakan memeluk agama yang diyakininya sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Ini berarti, pada dasarnya penyebaran agama adalah konsekuensi dan bagian dari keberagamaan itu sendiri. Tapi, penting disadari, jangan sampai cara-cara yang dipakai dalam penyebaran agama dapat menimbulkan ketegangan dalam masyarakat, meskipun hal itu dirasionalisasi dengan alasan dakwah menyebarkan ajaran agama. Ketegangan dalam penyebaran agama bisa timbul bila cara-cara yang digunakan dinilai kurang wajar. Penyebaran agama dengan cara mendatangi rumah penganut agama lain, ceramah-ceramah, tulisan dan selebaran yang bersifat kecaman terhadap agama lain, tentu akan menimbulkan masalah dalam hubungan antaragama. Akhirnya, di tengah berbagai konflik antarumat beragama dewasa ini, bangsa kita memang perlu berintrospeksi dengan pikiran yang jernih. Konflik yang sering terjadi di Maluku dan Poso hingga kini serta pembakaran tempat-tempat ibadah di daerah lain, hendaknya tak terulang lagi di masa depan. Sebab pada dasarnya konflik umat beragama akan menambah luka dan derita bagi rakyat. Hal ini mohon direnungkan secara serius. Terlalu banyak ujian dalam upaya mewujudkan kerukunan umat beragama di Indonesia. Eksekusi mati terhadap terpidana Tibo cs di Palu, Jum’at pagi telah memicu reaksi keras dari sekelompok massa di Atambua, Nusa Tenggara Timur. Reaksi masyarakat NTT tersebut menunjukkan bahwa tingkat kedewasaan umat beragama di Indonesia masih rendah. Kenyataan tersebut sekaligus mewartakan paradoks politik transisi Indonesia pasca-Orde Baru.
Betapa tidak, pemerintahan di era reformasi selalu berikhtiar memperbaiki keadaan bangsa dibandingkan masa sebelumnya. Pemikiran tersebut berangkat dari kenyataan bahwa kondisi sosial politik negara di masa rezim Soeharto tidak ekuivalen bagi proses demokrasi, pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Karena itu, gagasan reformasi diarahkan untuk memperbaiki semua kondisi yang tidak kondusif tadi ke arah yang lebih baik.
Akan tetapi, alih-alih memperbaiki keadaan, perkembangan kondisi pasca-Orde Baru justru membuat pelbagai perikehidupan sosial rakyat makin buruk, ditandai dengan menurunnya tingkat daya beli masyarakat, meningkatnya angka pengangguran, maraknya kriminalitas, serta masih rendahnya tingkat partisipasi pendidikan dibandingkan dengan negara tetangga. Titik balik reformasi bukanlah isapan jempol. Harapan-harapan atas perubahan akhirnya berbuah kekecewaan. Di mana-mana muncul frustrasi sosial, eskapisme, pesimisme, atau keputusasaan menghadapi masa depan kehidupan bangsa yang tidak menentu.
Kerusuhan bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) menunjukkan masih rentannya kohesi sosial bangsa. Cita-cita membangun Indonesia yang satu, sebagaimana diformulasikan oleh pendiri negara (The Founding Father and Mothers) seakan sirna ketika desing peluru, hujaman meriam, dan sabetan pedang menyimbahkan darah saudara-saudaranya sendiri. Doktrin perdamaian dan persaudaraan yang dibangun dan dijaga sejak zaman nenek moyang, seperti tradisi pela gandong di Maluku, akhirnya diruntuhkan dan diinjak-injak oleh anak cucunya sendiri dengan wajah angkara murka. Emosi dendam pun mengalahkan rasionalitas perdamaian.
Tragedi Ambon, Halmahera, Poso, Palu, Sampit, Palangkaraya dan beberapa daerah lain tak cuma mewartakan disharmoni masa kini tetapi juga masa depan bangsa. Kerukunan sosial seolah menjadi mimpi ketika sesama anak bangsa sulit mewujudkan titik akur. Celakanya, konflik paling laten di di negeri ini selalu berwarna SARA, terutama konflik berlatar belakang suku dan agama. Masalahnya, konflik antar-suku mungkin bisa diatasi dengan kerangka resep nasionalisme, akan tetapi konflik antar-agama sulit di-therapy dengan hanya mengandalkan jargon kebangsaan. Pasalnya, agama selalu dipandang sebagai entitas supra-nasional.
Padahal, secara teoretis, apa susahnya membangun harmoni sosial, toleransi, dan konsensus. Indonesia bisa belajar dari banyak negara majemuk lainnya. Amerika Serikat, sebagai contoh, adalah negara yang mampu membangun harmoni sosial secara matang. Negeri Paman Sam ini dikenal sebagai bangsa plural. Penduduknya berasal (bermigrasi) dari berbagai bangsa di lima benua plus penduduk “asli” (Indian). Beragam warna kulit, agama, bahasa ibu, tradisi, dan kebiasaan lama akhirnya bercampur menjadi satu dalam semangat Keamerikaan. Walaupun dari dalam terdiri dari banyak entitas, akan tetapi ke luar mereka tampil sebagai bangsa Amerika.
Belajar dari Amerika, barangkali kesulitan Indonesia membangun harmoni sosial karena belum dewasanya rakyat kita dalam menjalani proses kehidupan nasional. Bahkan, alih-alih berharap rakyat dewasa berpolitik, lapisan elit sendiri sulit menjalani proses kehidupan sosial yang harmonis dan toleran. Sesama elit masih sering bertikai secara kasar. Perilaku elit yang “berkelahi” di parlemen (nasional maupun lokal) mengindikasikan masih rendahnya kedewasaan elit. Bagaimana mungkin mengharapkan rakyat dewasa menyikapi perkembangan politik jika elitnya sendiri masih berperilaku kekanak-kanakan, sebagai pernah disindir mantan Presiden Abdurrahman Wahid terhadap anggota DPR- RI?
Kematangan elit dalam berpolitik menentukan kematangan demokrasi yang dijalankan. Selagi elit sulit menjalankan politik yang beradab, maka adab demokrasi pun sulit tumbuh dalam masyarakat bangsa. Pasalnya, tingkah laku elit dalam politik akan digugu oleh rakyat. Mengadopsi sebuah pepatah, jika elit kencing berdiri maka rakyat akan kencing berlari. Itulah yang terjadi dalam beberapa kasus politik praktis di daerah belakangan ini. Anarkisme yang dikompori kalangan elit bermetamorfosa menjadi tindakan brutral massa dengan merusak fasilitas publik dan mencederai adab dasar demokrasi.
Kerusuhan bernuansa SARA di beberapa daerah dalam 8 tahun terakhir pada dasarnya juga menunjukkan rendah dan lemahnya apreasiasi rakyat dan elit terhadap adab demokrasi. Adab demokrasi jelas menjunjung tinggi penegakan hukum. Tidak ada demokrasi tanpa penegakan hukum (law enforcement). Demokrasi tanpa hukum adalah democrazy yang memicu anarkisme. Konflik SARA terjadi justru karena lemahnya penegakan hukum dan rendahnya apresiasi etika dalam penyelesaian masalah sosial berbangsa dan bernegara.
Konflik Poso, sebagai contoh, bisa jadi dipicu oleh masalah kecil antara dua warga yang kebetulan berbeda agama. Akan tetapi karena secara hukum masalahnya tak pernah diusut tuntas, maka problemnya menjadi rumit dan liar. Perselisihan kecil antarwarga akhirnya memicu munculnya konflik lebih besar. Konflik besar bisa terjadi karena publik atau massa tidak pecaya pada hukum. Ketika Tibo cs dituding menyerang dan membantai penghuni sebuah pesantren di suatu pagi buta, semestinya tragedi itu tidak terjadi jika saja aparat kemanan dapat mengantisipasi dengan mengusut para pelaku perselisihan kecil sebelumnya dimana pihak Kristen atau Muslim menjadi korban. Akhirnya konflik SARA berujung pada siklus balas dendam yang sulit dihentikan, kecuali penegakan hukum dalam kerangka adab demokrasi.
Pilihan bagi Indonesia tidak lain kecuali menerapkan demokrasi secara konsisten. Konflik muncul karena demokrasi diterapkan secara parsial. Demokrasi hanya diterapkan saat pemilu belaka – itu pun tidak utuh. Padahal demokrasi harus menjadi (meminjam istilah Plato) virtue atau kebiasaan dan kebaikan masyarakat/umum. Ketika budaya demokrasi sudah terbangun secara mapan, maka pelbagai kemungkinan konflik/perselisihan bisa dicegah. Kerapnya muncul konflik di tanah air, baik konflik politik maupun sosial, karena budaya demokrasi belum mewujud dalam perilaku masyarakat.
Kesuksesan Amerika menjaga kohesi sosial karena negara adikuasa itu mampu mewujudkan demokrasi secara konsisten – setidaknya dibandingkan banyak negara lain. Kita sulit membayangkan Amerika akan bersatu, maju dan well-organized seperti sekarang jika negara itu tidak memakaikan adab demokrasi dalam mengatur masyarakatnya. Sulit mewujudkan kohesi sosial dan kehesi politik di negara majemuk jika masih dinaungi sistem otoriter. Di sejumlah negara sistem represif mungkin bisa dilaksanakan, tapi pada dasanya hal itu bersifat sementara. Pada saat lain, potensi konflik di bawah permukaan bisa muncul dalam bentuknya yang keras seperti terjadi di Indonesia di awal reformasi.
Dalam perspektif tersebut, maka kerukunan umat beragama harus dibangun dalam kerangka kohesi sosial yang utuh dan solid. Kerukunan umat beragama akan menjadi cermin masa depan bangsa. Pilihannya hanya dua: mau menjadi “cermin retak” atau “cermin bening”. Pelbagai pertentangan yang muncul harus diatasi dalam kerangka etika demokrasi, bukan malah dalam kerangka “hukum rimba”, sekalipun mengatasnamakan doktrin keyakinan agama masing-masing. Demokrasi kebangsaan harus mengatasi (menjadi “penengah”) semua paham yang ada, termasuk paham keagamaan

3.3.2  Rendahnya Sikap Toleransi
Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam komunikasi antar agama sekarang ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antar agama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang sensitif. Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu saja, dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang berbeda keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu sama lain. Masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka akan timbullah yang dinamakan konflik.

3.3.3  Kepentingan Politik
Faktor Politik, Faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam mncapai tujuan sebuah kerukunan anta umat beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama telah dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya. Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan. Seperti yang sedang terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat political upheavels di negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air mata, tetapi darah; darah saudara-saudara kita, yang mudah-mudahan diterima di sisi-Nya. Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga kita seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya.

3.3.4 Sikap Fanatisme
Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang. Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.
Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte atau aliran dalam agama tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang bertentangan. Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan keimanan dan mereka yang berada “di luar” untuk masuk dan bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau keselamatan abadi. Dengan saling mengandalkan pandangan-pandangan setiap sekte dalam agama teersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang berlebihan
Dari uraian diatas, sangat jelas sekali bahwa ketiga faktor tersebut adalah akar dari permasalahan yang menyebabkan konflik sekejap maupun berkepanjangan.
3.4  Solusi
3.4.1 Dialog Antar Pemeluk Agama
Sejarah perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka politik secara tipikal hampir keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan. Karena itulah dalam perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa dasawarsa terakhir, sejarah yang berpusat pada politik yang kemudian disebut sebagai “sejarah konvensional” dikembangkan dengan mencakup bidang-bidang kehidupan sosial-budaya lainnya, sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai “sejarah baru” (new history). Sejarah model mutakhir ini lazim disebut sebagai “sejarah sosial” (social history) sebagai bandingan dari “sejarah politik” (political history). Penerapan sejarah sosial dalam perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia akan sangat relevan, karena ia akan dapat mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para penganut kedua agama ini di luar bidang politik, yang sangat boleh jadi berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian, yang pada gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai (peaceful co-existence) di antara para pemeluk agama yang berbeda.
Hampir bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama lain) akan terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi, revolusi teknologi komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada lagi suatu komunitas umat beragama yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari lingkungan komunitas umat-umat beragama lainnya. Satu contoh kasus dapat diambil: seperti dengan meyakinkan dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat, yang mungkin oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah “negara Kristen,” telah berubah menjadi negara yang secara keagamaan paling beragam. Saya kira, Indonesia, dalam batas tertentu, juga mengalami kecenderungan yang sama. Dalam pandangan saya, sebagian besar perjumpaan di antara agama-agama itu, khususnya agama yang mengalami konflik, bersifat damai. Dalam waktu-waktu tertentu―ketika terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial yang cepat, yang memunculkan krisis― pertikaian dan konflik sangat boleh jadi meningkat intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian lebih sering menjadi feature utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya, banyak bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau bidang-bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai “non-agama.” Bahkan terjadi juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat domestik di Indonesia maupun pada tingkat internasional; ini jelas memperkuat perjumpaan secara damai tersebut. Melalui berbagai pertukaran semacam ini terjadi penguatan saling pengertian dan, pada gilirannya, kehidupan berdampingan secara damai.

3.4.2  Dialog dan Tantangan Umat Beragama

Sekarang ini umat beragama dihadapkan pada tantangan munculnya benturan-benturan atau konflik di antara mereka. Yang paling aktual adalah konflik antar umat beragama di Poso. Potensi pecahnya konflik sangatlah besar, sebesar pemilahan-pemilahan umat manusia ke dalam batas-batas objektif dan subjektif peradaban. Menurut Samuel P. Huntington, unsur-unsur pembatas objektif adalah bahasa, sejarah, agama, adat istiadat, dan lembaga-lembaga. Unsur pembatas subjektifnya adalah identifikasi dari manusia. Perbedaan antar pembatas itu adalah nyata dan penting.  Secara tidak sadar, manusia terkelompok ke dalam identitas-identitas yang membedakan antara satu dengan lainnya.
Dari klasifikasi di atas, agama merupakan salah satu pembatas peradaban. Artinya, umat manusia terkelompok dalam agama Islam, Kristen, Katolik, Kong Hucu dan sebagainya. Potensi konflik antar mereka tidak bisa dihindari. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi pecahnya konflik antar umat  beragama perlu dikembangkan upaya-upaya dialog untuk mengeliminir perbedaan-perbedaan pembatas di atas.
Dialog adalah upaya untuk menjembatani bagaimana benturan bisa dieliminir. Dialog memang bukan tanpa persoalan, misalnya berkenaan dengan standar apa yang harus digunakan untuk mencakup beragam peradaban yang ada di dunia. Menurut hemat penulis, perlu adanya standar yang bisa diterima semua pihak. Dengan kata lain, perlu ada standar universal untuk semua. Standar itu hendaknya bermuara pada moralitas internasional atau etika global, yaitu hak asasi manusia, kebebasan, demokrasi, keadilan dan perdamaian. Hal-hal ini bersifat universal dan melampaui kepentingan umat tertentu.
Standar universal ini memang bukan persoalan mudah, karena ia adalah gagasan teoritis yang mungkin berbeda dengan kenyataan-kenyataan di lapangan. Namun, sebagai nilai-nilai universal yang bisa melindungi hak-hak semua masyarakat dunia tampaknya nilai-nilai itu bisa mewakili kebutuhan bersama manusia, paling tidak dari stadar kemanusiaan (manusiawi).
Di sinilah kemudian diperlukan suatu pendekatan dan metodologi yang proporsional baik secara intra-agama maupun antar agama untuk menghindari lahirnya truth claim yang mungkin justru akan memperuncing benturan. Tawaran-tawaran yang telah dikemukakan oleh para cendekiawan muslim Indonesia merupakan sumbangan pemikiran yang dapat menjadi moralitas yang bersifat universal atau menjadi global etik yang dapat dipakai oleh semua orang. Apa yang dikemukakan oleh Rasjidi dengan pluralisme agama secara sosiologis, toleransi agama dan hak asasi manusia, Natsir dengan konsep modus vivendi dan persaudaraan universal yang penuh dengan nuansa hak-hak asasi manusia dan kebebasan beragama, Mukti Ali dengan agree in disagreement, Djohan Effendi dengan dimensi moral dan etisnya, Abdurrahman Wahid dengan self-kritiknya dan pluralisme dalam bertindak dan berpikir, Nurcholish Madjid dengan samhah al-hanîfiyyah-nya, dan Alwi Shihab dengan sikap toleransi dan  sikap pluralisme serta perlunya memahami pesan Tuhan, merupakan upaya untuk mencari solusi bagaimana umat beragama bisa hidup damai dan harmonis. 
Selanjutnya, suatu dialog akan dapat mencapai hasil yang diharapkan apabila, paling tidak, memenuhi hal-hal berikut ini. Pertama, adanya keterbukaan atau transparansi. Terbuka berarti mau  mendengarkan semua pihak secara proporsional,  adil dan setara. Dialog bukanlah tempat untuk memenangkan suatu urusan atau perkara, juga  bukan tempat untuk menyelundupkan berbagai “agenda yang tersembunyi” yang tidak diketahui dengan partner dialog.
Kedua adalah menyadari adanya perbedaan. Perbedaan adalah sesuatu yang wajar dan memang merupakan suatu realitas yang tidak dapat dihindari. Artinya, tidak ada yang berhak menghakimi atas suatu kebenaran atau tidak ada “truth claim” dari salah satu pihak. Masing-masing pihak diperlakukan secara sama dan setara dalam memperbincangkan tentang kebenaran agamanya.
Ketiga adalah sikap kritis, yakni kritis terhadap sikap eksklusif dan segala kecenderungan untuk meremehkan dan mendiskreditkan orang lain. Dengan kata lain, dialog ibarat pedang bermata dua; sisi pertama mengarah pada diri sendiri atau otokritik, dan sisi kedua mengarah pada suatu percakapan kritis yang sifatnya eksternal, yaitu untuk saling memberikan pertimbangan serta memberikan pendapat kepada orang lain berdasarkan keyakinannya sendiri. Agama bisa berfungsi sebagai kritik, artinya kritik pada pemahaman dan perilaku umat beragama sendiri.
Keempat adalah adanya persamaan. Suatu dialog tidak dapat berlangsung dengan sukses apabila satu pihak menjadi “tuan rumah” sedangkan lainnya menjadi “tamu yang diundang”. Tiap-tiap pihak hendaknya merasa menjadi tuan rumah. Tiap-tiap pihak hendaknya bebas berbicara dari hatinya., sekaligus membebaskan dari beban: misalnya kewajiban terhadap pihak lainnya, maupun kesediaannya pada organisasinya dan pemerintahannya. Suatu dialog hendaknya tidak ada  “tangan di atas’ dan “tangan di bawah”, semuanya harus sama.
Kelima, adalah ada kemauan untuk memahami kepercayaan, ritus, dan simbol agama dalam rangka untuk memahami orang lain secara benar. Masing-masing pihak harus mau berusaha melakukan itu agar pemahaman terhadap orang lain tidak hanya di permukaan saja tetapi bisa sampai pada bagiannya yang paling dalam (batin).  Dari situlah bisa ditemukan dasar yang sama sehingga dapat menjadi landasan untuk hidup bersama di dunia ini secara damai, meskipun adanya perbedaan juga menjadi kenyataan yang tidak dapat dipungkiri.
Namun demikian, penulis melihat adanya berbagai permasalahan yang dapat menjadi penghambat dialog antar umat beragama. Di antara sesuatu yang dapat menjadi penghambat itu adalah sebagai berikut: (1)  kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang agama-agama lain secara benar dan seimbang, akibatnya kurang penghargaan dan muncul sikap saling curiga yang berlainan. Hal ini  akibat adanya truth claim, atau sesuatu yang akan mengakibatkan adanya truth claim. (2) Faktor-faktor sosial politik dan trauma akan konflik-konflik dalam sejarah, misalnya Perang Salib atau konflik antar agama yang pernah terjadi di suatu daerah tertentu. (3) Munculnya sekte-sekte keagamaan yang tidak ada sikap kompromistik dengan memakai ukuran kebenaran hitam-putih. (4) Kesenjangan sosial ekonomi, terkurung dalam ras, etnis dan golongan tertentu. (5) Masih adanya kecurigaan dan ketidakpercayaan kepada orang lain. Atau dengan kata lain, kerukunan yang ada hanyalah kerukunan semu. (8) Penafsiran tentang misi atau dakwah yang konfrontatif.  (9) Ketegangan politik yang melibatkan kelompok agama.
3.5 Bersikap Optimis
Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka, saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog.
Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap optimis. Pertama, pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di dalam maupun di luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan Seminari misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga telah didirikan Pusat Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur jagung, hal itu bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan paham keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga bermunculan lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di Yogyakarta, yang memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan kerukunan antarpenganutnya.
Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Kita seringkali prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman keagamaannya bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah kesalahan kita bersama. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.
Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion) dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba antarpenganut agama.
Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar